Kamis, 05 Mei 2011

Proses moulting dan faktor faktornya

Genus panneid mengalami perhgantian kulit (moulting) secara periodik untuk tumbuh, termasuk udang vanamei. Proses moulting berlangsung dalam 5 tahap yang bersifat kompleks, yaitu postmoulting awal, postmoulting lanjutan, intermoult, premoult, dan moulting. Proses moulting di akhiri dengan pelepasan kulit luar dari tubuh udang. Proses moulting sangat menentukan waktu ablasi induk udang di hatchery dan waktu panen yang tepat.

1. Proses moulting
Waktu yang dibutuhkan untuk moulting tergantung umur dan jenis udang . saat udang masih kecil (fase tebar atau PL 12), proses moulting trerjadi setiap hari. Dengan bertambahnya umur, siklus moulting semakin lama, antara 7-20 hari sekali.
Nafsu makan udang mulai menurun pada 1-2 hari sebelum moulting dan aktivitqaqs makanya berhenti total sesaat akan moulting. Persiapan yang dilakukan udang vanamei sebelum mengalami moulting yaitu dengan menyimpan cadangan makanan berupa lemak di dalam kelenjar pencernaaan (hepatopangkreas).
Umumnya moulting berlangsung pada malam hari. Bila akan moulting, udang vanamei sering muncul kepermukaaan air sambil meloncat –loncat. Gerakan ini bertujuan membantu melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Pada saat moulting berlangsung, otot perut melentur, kepala membengkak, dan kulit luar bagian perut melunak. Dengan sekali hentakan, kulit luar udang terlepas.
Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri karena cairan moulting (semacam lendir) yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk melekat dan memangsa (kanibalisme). Udang vanamei akan tampakn lemas dan berbaring di dasar perairan selama 3-4 jam setelah proses moulting selesai.
2. Faktor faktor moulting
Moulting akan terjadi secara teratur pada udang yang sehat. Bobot badan udang akan bertambah setiap kali mengalami moulting. Faktor faktor yang mempengaruhi moulting massal yaitu kondisi lingkungan, gejala pasang, dan terjadi penurunan volume air atau surut.

a. Air pasang dan surut.
Air pasang yang disebabkan bulan purnama bisa merangsang proses moulting pada udang vanamei. Hal ini terutama banyak terjadi pada udang vanamei yang dipelihara di tambak tradisional. Di alam, moulting biasanya terjadi berbarengan dengan saat bulan purnama. Saat itu, air laut mengalami pasang tertinggi sehingga perubahan lingkungan tersebut sudah cukup merangsang udang untuk melakukan moulting. Oleh karena air di tambak hanya mengandalkan pergantian air dari pasang surut air laut. Penambahan volume air pada saat bulan purnama dapat menyebabkan udang melakukan moulting.
Penurunan volume air tambak saat persiapan panen ju8ga dapat menyebabkan moulting. Moulting sebelum panen menyebabkan presentase udang yang lembek meningkat.

b. Kondisi lingkungan
Proses moulting akan dipercepat bila kondisi lingkungan mengalami perubahan. Namun demikian, perubahan lingkungan secara drastis dan disengaja jusrtru akan menibulkan trauma pada udang. Beberpa tindakan tersebut diantaranya terlalu sering mengganti air tambak, tidak hati hati saat menyipon (membersihkan tambak), dan pemberian saponin yang berlebihan.

3. kegagalan moulting dan pencegahan
Proses moulting dapat berjalan tidak sempurna atau gagal bila kondisi fisiologis udang tidak normal. Kegagalan tersebut menyebabkan udang menjadi lemah karena tidak mempunyai cukup energi untuk melepaskan kulit lama menjadi kulit baru. Udang yang tidak melakukan moulting dalam waktu lama menunjukan gejala kulit luar ditumbuhi lumut dan protozoa. Usaha pencegahan kegagalan bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti lebih sering mengganti air tambak.

sumber : Rubiyanto Widodo Haliman dan Dian Adijaya S dalam bukunya udang vanamei

Minggu, 01 Mei 2011

sejarah singkat danau tempe

Hasil rekontruksi Tang, (2005) atas perjalanan perubahan Danau Tempe saat ini diperoleh bahwa Danau Tempe pada awalnya adalah bagian dari selat yang menghubungkan Selat Makasar yakni Teluk Pare-pare di Sebelah Barat dan Teluk Bone di Sebelah Timur. Atau dengan kata lain, bahwa Danau Tempe adalah bagian selat yang memisahkan Sulawesi Bagian selatan dengan bagian Sulawesi lainnya di bagian Utara. Pernyataan tersebut didasarkan pada Naskah La Gaigo dan tulisan Bompeng Ri Langi (Enrekang) dan lainnya yang dikutip Cristian Perlas dalam Buku The Bugis (Tang,.2005).

Karena itu, kawasan Danau Tempe saat dulu (saat masih selat) adalah merupakan kawasan pusat perdagangan yang telah dikenal para pedang luar daerah Sulawesi, sebelum Bandar Maksar yang kemudian menjadi pusat perdagangan wilayah Timur Indonesia (Tang, 2005). Barang perniagaan yang diperjualbelikan meliputi emas, perak, sutra, bijih besi, bijih tembaga, arang, beras, keramik, rempah-rempah, hasil hutan, hasil laut, budak dan lain-lain. Pergerakan lempengan dan proses sedimentasi yang terus menerus membuat selat menyempit dan mendangkal. Sehingga yang tersisa saat ini adalah tiga wilayah perairan yang terpisah, yakni Danau Tempe, Danau Buaya, dan Danau Sidenreng (yang pada awalnya adalah satu kesatuan yaitu Danau Tempe), serta Sungai Cenrana yang menghubungkan Danau Tempe ke Teluk Bone. Kalau ketiga danau itu disatukan oleh genangan air pada elevasi 10 m dpl akan memiliki luasan hingga 47.800 Ha (Bappeda Kab. Wajo, 2006).

Pertumbuhan penduduk yang dibarengi oleh peningkatan kebutuhan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di sekitar danau dan hulu sungai yang bermuara ke Danau Tempe membuat Keberadaan Danau Tempe semakin terdesak. Luas Danau Tempe yang betul-betul tergenang pada tahun 1976 mencapai 35.000 Ha dengan kedalaman maksimal mencapai 9.5 m dan pada tahun 1997 luasan mulai menyempit hingga mencapai 30.000 Ha dengan kedalaman maksimum 5-7 m yang mana di saat musim kering kedalaman maksimal hanya 2 m. (Arief, 1977). Luas Danau Tempe Normal sebagaimana catatan Arief (1997) pada saat itu (tahun 1997) adalah 9.400 Ha dan data tahun 2006 menunjukkan bahwa Danau Tempe saat normal hanya tergenang 9000 Ha saja. Saat ini, luasan muka air danau bisa mencapai 47.800 Ha hanya ketika terjadi banjir besar.

sumber : DKP Kabupaten Wajo

Rabu, 20 April 2011

Mengenal lebih jauh mengenai padang lamun

Sebelum kita mengenal lebih jauh mengenai lamun, kita perlu mengetahui apa sebenarnya lamun dan perananya.

Padang lamun adalah ekosistem khas laut dangkal di perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan lamun, sekelompok tumbuhan anggota bangsa Alismatales yang beradaptasi di air asin.Padang lamun hanya dapat terbentuk pada perairan laut dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan (selalu tergenang). Ia dapat dianggap sebagai bagian dari ekosistem mangrove, walaupun padang lamun dapat berdiri sendiri. Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosostem mangrove dan terumbu karang.

Padang Lamun memiliki memiliki fungsi yang cukup banyak, hal ini disebabkan hamparan padang lamun yang banyak terdapat keanekaragaman hayati." Padang lamun dihuni ribuan makhluk dalam satu meter persegi. Organisme ini terdiri dari udang kecil, ikan kecil , ikan predator, dan kura-kura, bahkan kuda laut. Lamun tidak hanya menyediakan tempat berlindung dan tempat pemijahan untuk organisme laut, tetapi juga menyediakan sumber makanan yang melimpah bagi berbagai organisme.

Selain menyediakan tempat berlindung, tempat memijah dan sumber makanan, padang lamun juga memiliki banyak fungsi penting lainnya seperti, melindungi pantai dari arus dan ombak, sehingga mengurangi terjadinya erosi. Kedua, padang lamun juga membantu dalam mengurangi eutrofikasi dan meningkatkan kejernihan air. Kejernihan air akan meningkat karena lamun memiliki akar yang lebat sehingga mengurangi terjadinya sedimentasi dengan cara menjebak sedimen diantara bilah lamun. Namun hal Ini mengurangi nutrisi dari limpasan tanah karena padang lamun menggunakan nutrisi sebagai sumber makanan. Ketika nutrisi yang berlebihan dan beban yang diakibatkan oleh sedimentasi air, tanaman yang tidak diinginkan seperti ganggang dapat mengambil alih. Dengan adanya alga dan sedimentasi, sinar matahari berkurang maka dapat meningkatkan kecendrungan kematian pada lamun.

Terjadi Penurunan tutupan padang lamun di seluruh dunia, yang di akibatkan limbah logam. " contoh kasus Di Florida sendiri, telah terjadi penurunan 35% tutupan padang lamun." Penurunan ini terjadi terutama karena polusi, kualitas air yang buruk, pembangunan kawasan pesisir, degradasi rawa pasang surut, terjadinya pengikisan, anchoring perahu, dan kerusakan yang diakibatkan oleh jangkar kapal.

Selain fungsi ekologis lamun juga memiliki fungsi ekonomis, yang mana dapat dijadikan barang komersial sepert barang-barang fungsional dan dekoratif. Beberapa item yang terbuat dari lamun adalah keranjang, tikar,furnitur dan banyak item lain. Di bagian belahan dunia yang lain, lamun digunakan untuk isolasi rumah, atap seperti halnya jerami, dan bahan isian untuk bantal dan kasur.

contoh produk yang dihasilkan dari lamun.

http://hubpages.com/hub/Seagrass
http://wikipedia.org/padanglamun

Selasa, 19 April 2011

Pemeliharaan dan pemulihan produktivitas perikanan terumbu

Dewasa ini tidak bisa dipungkiri lagi bahwa, telah terjadi penurunan produktivitas perikanan terumbu khususnya di Indonesia, hal ini tidak luput dari perbuatan manuasia yang sering kali menjadikan alam sebagai korban dalam setiap kegiatanya.

Adapun beberapa langkah yang dapat di tempu untuk pemulihan dan pemeliharaan produktivitas perikanan terumbu.

1. Perubahan ke praktek-praktek perikanan yang kurang merusak /ramah lingkungan.
  • Hal ini merupakan salah satu langkah pertama yang paling mendasar dalam penyelamatan ataupun pemulihan produktivitas perikanan terumbu. Misalnya : membuat peraturan mengenai alat tangkap yang dilarang dalam penangkapan, dimana alat yang dimaksud adalah jenis alat tangkap yang dapat merusak ekosistem ataupun menangkap ikan ataupun organism lainya yang belum memijah.
2. Peningkatan populasi ikan secara buatan (Hatcheri-hatcheri)tujuan pemanfaatan potensi hatcheri yaitu meliputi
  • Membangun kembali populasi spesies yang menurun/terancam
  • Meningkatkan kelestarian populasi di alam bebas
  • Mempercepat pemulihan populasi yang rusak oleh bencana (kemarau, badai, banjir, pencemran)
Adapun hambatan dalam peningkatan poulasi ikan secara buatan yakni
  • Gagal bertahan hidup
  • Terlalu mahal untuk diproduksi
  • Terlalu sedikit untuk membuat perbedaan kuantitatif di alam bebas
  • Tidak masuk populasi breeding
  • Menunda pekerjaan dari manajemen yang lebih efektif yang dapat terukur untuk melindungi stok sisa di alam
  • Memasukkan atau memfasilitasi penyebaran penyakit dan parasit pada populasi di alam Mengarah ke invasi spesies-spesies eksotik yang merusak zona lokal
  • Hanya menguntungkan spesies-spesies estuaria, anadromous atau air tawar yang terseleksi
  • Merubah atau merusak genetik stok alam
  • Merusak daya tarik dalam konservasi yang berkelanjutan dan stok-stok alam yang asli

3. Alterasi habitat
A. Terumbu buatan
Salah satu alterasi habitat yaitu pembuatan terumbu buatan, dimana berfungsi sebagai :
  • Mengkonsentrasikan organisme untuk penangkapan yang lebih efisien
  • Melindungi organisme kecil/juvenil dan daerah pengasuhan dari pengrusakan alat tangkap
  • Meningkatkan produktivitas alami dengan memberikan habitat baru bagi organisme sesil untuk melekat permanen dan selanjutnya diikuti oleh terbentuknya suatu asosiasi rantai makanan
  • Menciptakan habitat baru dengan meniru terumbu alami untuk menarik spesies target
B. Alterasi dan restorasi habitat
Habitat tropis yang penting untuk restorasi adalah mangrove, padang lamun, terumbu karang dan rawa pasang surut
Tehnik-tehnik restorasi:
  • Menghilangkan tekanan-tekanan
  • Peningkatan ketersediaan substrat untuk penempelan larva
  • Trasplantasi karang dari suatu daerah ke daerah yang lain
  • Menciptakan habitat baru dengan meniru terumbu alami untuk menarik spesies target
4. Introduksi spesies eksotik
5. Perlindungan daerah secara permanen
Salah satu yang dapat dilakukan yaitu Terminologi daerah perlindungan laut seperti CPL, zona tidak ada penangkapan, daerah konservasi, daerah inti, santuaria, zona non konsumtif, zona pelengkap, zona reservasi, zon preservasi, taman atau kotak perlindungan


Jumat, 04 Maret 2011

tahapan perencanaaan pengelolaan sumberdaya perikanan

1) Identifikasi isu dan masalah
Tahapan awal dari rencana pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu identifikasi isu dan masalah, kerusakan ekosistem akibat alat yang tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom, penggunaan bom berdampak pada penurunan stok yang ditandai pada menurunnya hasil tangkapan nelayan, diversitas ikan, dan lain-lain. Salah satu identifikasi isu dan masalah yaitu degradasi ekosistem karang yang dapat disebabkan oleh gangguan antropogenik misalnya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.
Selain itu isu dan masalah dapat diidentifikasi dengan melihat hasil tangkapan pada beberapa jenis populasi ikan tertentu yang mulai mengalami penurunan. Misalnya berdasarkan data hasil penelitian, jumlah hasil tangkapan ikan tuna di selat Makassar setiap tahunnya mengalami penurunan akibat overfishing.

2) Perumusan tujuan dan sasaran
Langkah kedua dalam perencanaan pengeloaan sumberdaya perikanan yaitu Perumusan tujuan berdasarkan masalah yang diidentifikasi baik dari beberepa aspek misalnya segi ekologi, biologi, social ekonomi, peraturan dan kelembagaan yang berdampak pada stok dengan tujuan akhir diharapkan bisa menyelesaikan masalah yang ada. Termasuk kontribusi terhadap sosial ekonomi masyarakat nelayan. Dalam perumusan tujuan dan sasaran dilakukan secara bersama antara pemegang otoritas dan stakeholders yang ikut dalam wilayah yang menjadi target untuk pengelolaan termasuk keterkaitan disiplin ilmu ikut dalam perumusan tersebut. Perumusan tujuan harus dalam bentuk target jangka pendek dan jangka panjang.
Perumusan tujuan dan sasaran harus berada pada proporsi menjaga keseimbangan ekosistem/habitat, menjaga kapasitas keberlanjutan, alokasi sumberdaya secara optimal, mengurangi konflik, terlebih dapat menguntungkan secara ekonomi dan lain sebagainya. Dari perumusan tujuan ini juga diharapkan dapat meningkatkan produksi, pendapatan, lapangan kerja, ekonomi, dan keberlanjutan sumberdaya.

3) Pengumpulan data dan informasi
Sumber data dan informasi ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui proses pengambilan data secara langsung dilapangan melalui riset, penelitian, wawancara, dan lain-lain. Sedangkan data sekunder dapat diperoleh melalui data yang sudah ada pada lembaga-lembaga terkait misalnya dinas kelautan dan perikanan, perguruan tinggi, perusahaan/industri, dan lembaga swadaya masyarakat.
salah satu contoh data yang diperlukan misalnya kondisi tutupan karang di pulau barrang lompo.

4) Analisis data dan informasikan
Analisis data dan informasi menjadi acuan dalam merumuskan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan misalnya untuk mengetahui potensi lestari suatu kawasan perairan dapat dihitung dengan model Maximum Sustainable Yield (MSY). Dengan model MSY dapat diasumsikan hasil tangkapan maksimum pada periode tertentu tidak menurunkan hasil tangkapan periode berikutnya, karena cadangan sisa dapat memulihkan stok. Selain itu MSY cocok pada spesis tunggal, tapi ada juga menerapkan pada multispesis atau total biomassa suatu wilayah pengelolaan.
Namun dapat juga dilakukan Optimum sustainable Yield. Konsep OSY pada dasrnya berdasar pada konsep MSY dengan tujuan lebih luas tidak terbatas pada keberlanjutan sumberdaya tetapi termasuk keuntungan dan kerugian sosial, ekonomi, ekologi, biologi, teknologi, hukum, baik pada perikanan komersil maupun rekreasi.

5) Konsultasi, negosiasi dan musyawarah
Konsultasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan mekanisme yang bersifat lintas disiplin dalam mengkaji kebutuhan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan mekanisme ini akan menghasilkan suatu kajian yang bersifat interdisiplin. Hal ini dapat dilihat pada beberapa hasil kajian yang menguraikan beberapa aspek fisik lingkungan hingga aspek sosial, ekonomi, kelembagaan dan sarana wilayah. Tidak lepas dari itu, musyawarah dilakukan dengan melibatkan antara otoritas pengelola dan stakeholders secara regular.
Konsultasi, negosiasi dan musyawarah dimulai dari identifikasi masalah, perumusan tujuan, peraturan, program, perbaikan, dan laporan kondisi dan keragaan pengelolaan sumberdaya kepada pemberi otoritas.

6) Penetapan alokasi sumberdaya
Lewat hasil kajian dan data yang diperoleh, dilakukan alokasi berdasarkan perimbangan nelayan, potensi sumberdaya, mencegah konflik pengguna sumberdaya dan alokasi pemanfaatan sumberdaya berdasarkan ruang dan waktu.
Dasar dalam penetapan alokasi sumberdaya misalnya berdasarkan hasil analisis potensi lestari perairan selat Makassar berdasrkan potensi lestari model MSY dimana dapat diasumsikan hasil tangkapan pada periode tertentu dan tidak menurunkan hasil tangkapan periode berikutnya karena sisa cadangan dapat memulihkan stok, dengan penetapan alokasi sumberdaya seperti ini akan lebih optimal dalam menjaga keberlanjutan produksi sumberdaya perikanan.

7) Perumusan peraturan
Dalam perumusan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan perlu memuat tentang:
‐ Peraturan pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian.
‐ Peraturan bersifat saling mendukung dan tidak menimbulkan tumpang tindih yang dapat berdampak pada timbulnya konflik pemahaman stakeholders.
‐ Sifat dan ruang lingkup tugas, hak, kewajiban pengelola, stakeholders, mitra perikanan.
‐ Syarat-syarat input seperti izin penangkapan (jenis alat, jumlah alat, waktu, daerah, ukuran, subsidi, permodalan. serta syarat-syarat output seperti (ukuran ikan, jumlah tangkapan, retribusi, pajak hasil tangkapan dan lain-lain.
‐ Rumusan peraturan terdiri dari lebih dari satu alternatif.

8) Pelaksanaan kegiatan
Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dengan tetap merujuk pada tujuan dan sasaran yang dimuat sebelumnya.

9) Sosialisasi dan Penegakan peraturan
Dalam melaksanakan kegiatan perlu adanya sosialisasi yang efektif dengan maksud semua pihak yang terlibat didalamnya memahami dan menaati perturan yang sudah ditetapkan. Dan lebih lanjut penegakan pelaksanaan peraturan dalam pengelolaan perikanan. Peraturan secara nasional yang tertuang lewat UU termasuk setiap daerah memiliki peraturan sendiri dalam mengelola wilayah dan sumberdaya perikanan berdasarkan otonomi daerah.
10) Monitoring dan evaluasi
Dalam pelaksanaan yang bersifat sustainable perlu adanya monitoring dan evaluasi untuk melihat apakah pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan dan target yang ditetapkan. Kemudian dalam monitoring dan evaluasi dilakukan dalam bentuk jangka pendek dan jangka panjang. Hasil dari monitoring ini menjadi bahan untuk dilakukan perbaikan kegiatan

11) Perbaikan kegiatan
Melakukan langkah perbaikan (perubahan) program dan peraturan jika ditemukan penyimpangan dalam pencapaian tujuan sesuai hasil monitoring dan evaluasi.
Misalnya pada target hasil produksi penangkapan ikan layang di perairan selat Makassar mengalami penurunan setiap periode waktu yang sebelumnya diharapkan akan tetap pada titik

Dengan melaksanakan seluruh tahapan pengelolaan di atas maka akan terbentuk menjadi sebuah siklus dalam managemen sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

penulis : arnold kabangnga
editor : irfan alwi


Minggu, 20 Februari 2011

Pentingnya pengetahuan oseanografis dalam pengelolaan sumberdaya perikanan


Dalam kehidupan masyarakat pesisir sering kali terdapat permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dimana slaah satu objek yang menjadi sorotan penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu kondisi oseanografis suatu daerah yang menjadi pusat pengelolaan sumberdaya perikanan.

perbedaan kondisi oseanografis di setiap pulau ataupun daerah disebabkan perbedaaan kondisi oseanografis, sedikt saja terjadi perbedaan kondisi geografis maka akan mengakibatkan maka akan menyebabkan perbedaan kondisi oseanografis. kita lihat realitas yang ada. perbandingan antara keberadaan ekosistem yang ada di pulau samalona dengan pulau saogi, pada pulau saogi terdapat 3 ekosistem yang memiliki peranan penting dalam keseimbangan ekosistem yakni :
1. padang lamun
2. terumbu karang
3. hutan mangrove
sedangkan di pulau samalona hanya terdapat terumbu karang dan sedikit padang lamun, hal ini jelas memperlihatkan bahwa kondisi oseanografis sangat mempengaruhi keberadaan ekosistemdi sebuak kawasan pesisir.

merujuk dari hal di atas maka dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kita harus memperhatikan aspek oseanografis yang memiliki peranan yang sangat besar terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilaksanakan. untuk contoh yang lebih spesifik lagi yaitu pada program pembuatan program biorock pada suatu wilayah perairan laut, dimana untuk mencapai keberhasilan program biorock itu haruslah memenuhi standar kehidupan karang yang ada, mislanya suhu harus18- 28 'C